Dua tahun lebih, bapak telah pergi menemui takdirnya yang baru. Melepas segala bentuk ikatannya dengan dunia. Bagiku tidak ada satu pun yang hilang, kenangan pematang sawah sore hari, kopi tanpa gula, kesedihan melihat bapak berbaring di tempat tidur. September 2007, bapak pergi menjalani kembali roda karmanya. Aku belum sempat mengatakan padanya bahwa karena kesibukanku, atau kemalasanku semasa kuliah, aku terpaksa menunda masa wisuda dokterku 6 bulan. Dia juga belum sempat mengucapkan selamat ketika aku mengenakan toga hitam bergaris hijau dan kuning, setidaknya aku tidak melihatnya. Barangkali ia tersenyum puas, melihatku sudah menemukan bentukku. ”Sekarang penghalusannya kuserahkan pada tangan waktu” barangkali itu gumamnya.
Malam ini, aku sengaja menuliskan ini untuk mengenangmu, Bapak. Orang yang telah menukar nasibnya untuk masa depan 3 anak laki-lakinya. Walau bukan orang yang hebat, dia adalah bapak yang lembut. Memang suaranya keras, sekeras hati dan kisah hidupnya, menjadikan aku lebih mampu bertahan. Bertahan untuk terus bermimpi, lalu menggenggam impian. Lewat tangannya aku menaiki tangga batu, mendekati sinar terang.
”Bapak, aku tahu kau tidak sungguh-sungguh meninggalkan kami semua. Dari balik angin, kau senyatanya membantu kami semua dengan lebih keras, mengundang segala peruntungan baru bagi kami semua. Ah bapak, dari dulu kau tidak pernah berubah, selalu memberi lewat orang lain. Kau tentu tak ingin kami tahu kalau kau sangat penyayang bukan? Di depan kami, kau selalu meributkan hal yang kecil: halaman yang belum disapu, gelas dan piring kotor, atau lampu yang lupa dimatikan pagi hari. Ah, betapa itu adalah pelajaran yang baru kupahami maknanya belakangan. Tapi tetap saja, aku seringkali lupa memadamkan lampu kamarku di pagi hari. Oya, Putu, Angga dan Risal sekarang sudah besar, tidak ada yang mengajarinya mencuci kamar mandi ataupun membersihkan toilet, mereka sangat nakal, melebihi kenakalan kami bertiga, anak-anakmu. Sekarang semua sudah berbeda, mereka tentu tidak akan pernah mengenal mengusir burung dari padi-padi yang menguning, atau harus melakukan sesuatu sebelum mendapat imbalan uang jajan. Tiap pagi, sebelum berangkat ke sekolah mereka minta uang 2000, hampir 10 kali lipat dibanding pada masa aku SD. Oya, aku sekarang sudah bekerja, seperti yang dulu sering kita diskusikan, aku memutuskan untuk menjadi dosen saja, bosan dengan aroma rumah sakit. Biarlah kenangan ruang operasi dan ruang teratai hanya jadi kenangan saja. Apa aku harus memberitahukan semuanya, tentang kesedihanku, kesenanganku, pacar, teman, sahabat, dan rencanaku ke depan? Ah, kau selalu begitu, selalu pura-pura tidak tahu. Tapi kadang-kadang kau juga sedikit sok tahu hahahaha…..”
Aku tertawa dan menangis. Aku menyayangimu, Bapak-ku yang tangguh!
Denpasar, 17 November 2009