Menaiki tangga batu seperti mendaki diri sendiri, semakin tinggi, semakin curam jurang dosa, segala sesal, segala tangis, melebur jadi asap, mengepul lalu menghilang bersama kabut Kintamani
***
“Kami hanyalah manusia-manusia yang papa, jika Kau berikan detik, maka aku akan menjelma kembali menjadi Aku. Aku tak ingin menjalani siksa kubur, tapi aku menginginkan lima unsur, menyatu dengan bumi, lalu lahir kembali menjadi Aku, menjalani karmaphala!“
Kau-kah yang berbisik di telingaku malam tadi ? Maafkan aku karena tertidur. Aku memimpikan awan pekat, menyamarkan wajah seseorang yang sangat kukenal. Senyumnya yang liat, aku tidak asing dengan rambutnya, dan kerutan di wajahnya. Bibirnya yang hitam terbakar air panas, bukan karena asap rokok tapi gumpalan kafein yang mengendap jadi kulit ari. Di pinggir jembatan dia melambaikan tangannya, sepertinya dia sedang tersenyum atau malah meringis kedinginan. Kabut Batur sangat tebal. Dia menggunakan destar putih, saput berwarna kuning, dan kain batik setinggi betis dengan pola kancut mengerucut lurus ke bumi. Kabut pekat semakin mengumpal, yang tersisa hanya siluet, lalu bayangan itupun menghilang di tengah-tengah riuh.
***
Kepalaku terasa berat. Perjalanan ini terasa sangat panjang. Pagi-pagi langit muram, tiba-tiba menyemburkan hujan deras. Mungkin sebagai salam perpisahan sebelum Dewata-Dewati pergi meninggalkan alam manusia dan kembali ke alam Dewa. Mereka menyapa semua saudaranya yang menjalani karma sebagai manusia. Ini adalah waktu untuk bercengkrama, lewat asap dupa, lewat bunga, lewat air, dan cakupan tangan di depan ubun-ubun. Mencari kembali masa lalu. Rasakan hangat dan kerinduan yang menyembul dari rasa dingin di kulit. Pori-poriku mengkerut, semua rambut di tangan berdiri. Mereka riang karena perjumpaan. Bahasanya yang halus tidak bisa kumengerti. Itulah yang disebut isyarat, bahasa purba yang terus-menerus hadir. Kau tak bisa melihat kata, tapi hanya bisa membaca isyarat. Kain serat tipis berwarna putih yang menutupi kulit tubuhku tidak cukup kuat menahan hawa kabut. Aku menggigil. Avansa silver yang membawaku ke jalan ini, terjebak macet panjang. Ada bus besar yang ditumpangi riang anak-anak, atau gadis-gadis berbulu mata lentik yang girang melihat kerumunan, bagi mereka kerumunan orang adalah uang. Ada juga sepasang konyong yang ditawarkan seperti seekor boneka hidup. Tapi aku tidak berhasil menemukan orang yang berdiri di tepi jembatan itu. Dia benar-benar menghilang tanpa meninggalkan bekas. Hanya ada sisa-sisa kabut yang perlahan turun ke dasar. Ingin rasanya keluar dari dalam mobil, melepaskan pengap yang lekat di angan, bergelut dengan dingin, bersentuhan dengan kabut, dan sesekali melempar pandangan ke tepi jembatan.
“Maaf Pak, bisa mundur sedikit, mobil saya mau keluar”
Sungguh aneh. Saat tiga butir beras sudah menghias keningnya, mereka tampak santun dan sabar, tapi mereka tetap saja egois. Doa ternyata tidak sanggup mengikis tuntas sifat dasar manusia. Manusia hanyalah manusia, bukan Dewa. Dengan wajah enggan, alis yang mengerut, atau nafas yang mendengus, rem tangan dilepas, kami mundur tak lebih dari lima depa. Lihat lebih dekat, bije-bije itu adalah lambang kesabaran. Mereka tampak indah di kening. Kening yang lebar, yang mengajarkan arti penantian, memaknai kesabaran. Entah selebar apa hati dan perasaan yang disimpan oleh kening itu, biarkan saja angin yang bercerita, kabut ini terlalu dingin.
Laki-laki itu melintas diantara kerumunan. Dia tersenyum, aku mengenal senyum itu, juga busana yang dikenakannya. Ia menyelinap diantara pikiran, singgah pada ragu, namun muncul di keheningan. Setiap aku sadar, dan melihat jembatan itu, yang tersisa hanya wajah-wajah asing yang riang. Mereka semua menghiasi keningnya dengan butir beras, yang wanita semakin anggun dengan kebaya dan selendang yang melingkari pinggang. Lelaki-lelaki itu semakin gagah dengan safari dan destar yang melingkari kepala. Tapi, laki-laki itu melintas sangat cepat. Aku tak sanggup membaca geraknya, lalu ia menghilang sesaat setelah melambaikan tangannya, entah untukku atau untuk orang lain. Bungkusan kecil berwarna merah di tangan kanannya, aku juga mengenalnya. Oleh-oleh masa kecil yang selalu diberikan ayahku saat aku menangis. Rasanya sangat lembut dan manis. Cukup sepotong kecil, letakkan di ujung lidah, maka ia akan mencair menjadi obat yang ampuh untuk tangisku. Aku merindukanmu, sangat merindukanmu. Angin sangat peka, dia berhembus lembut, membawa sisa kabut untuk mengendap dipermukaan kulit. Udara menjadi semakin dingin. (bersambung…..)
koq bersambung sech..
Yah, bija menjadi “pengingat” bahwa kita baru saja berbakti… klo masih ngga ingat, mungkin bijanya kurang banyak ya? Haha… Jadi inget ama pedagang2 salak di Besakih yang ahli banget maen “sulap”. Waktu beli sih salaknya gede2. Pas dibuka di mobil eh… jadi kecil2 n ada yang busuk segala. Yah… gitu deh…
jangan buat orang penasaran!!!
Wuih, openingnya indah sekali. Bagian tengah dan belakang juga oke punya. Sambungannya mana? Penasaran…
wah, Bli Nyoman benar-benar super sibuk. Saya tunggu lanjutannya nih. Penasaran.
Bagi temen-temen yang masih penasaran, minta maaf ya! Saya masih di Surabaya, Sedang mengikuti Kursus Gender dan Seksualitas. Tanggal 15 Agustus ini selesai. Setelah itu akan aktif lagi bertegur sapa.